Uttaran Serial Drama yang "Lebay" yang Dirindukan. serial India yang populer di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Dari segi data kepemirsaan harian Nielsen, rating Uttaran stabil di posisi lima besar. Menengok Trending Topic Twitter, hampir setiap sore ada Uttaran. Bahkan sempat beredar foto surat pemberitahuan di sebuah kantor desa yang berisi larangan menonton Uttaran karena mengganggu konsentrasi kerja.
Kalau Anda pernah menyaksikan Uttaran, mungkin bertanya-tanya apa hebatnya Uttaran sampai merajai rating Nielsen dan dibicarakan di media sosial?
Kalau Anda pernah menyaksikan Uttaran, mungkin bertanya-tanya apa hebatnya Uttaran sampai merajai rating Nielsen dan dibicarakan di media sosial?
Uttaran Serial Drama yang "Lebay" yang Dirindukan |
Tayangan yang banyak ditonton, umumnya menawarkan hal baru atau sesuatu yang beda. Sebuah inovasi, entah itu dari segi cerita, genre atau dampak khusus. Uttaran justru dipenuhi dengan elemen lama. Ceritanya klasik, pertemanan anak pembantu dengan anak juragannya yang berujung pada perebutan seorang laki-laki. Ichcha (diperankan Tina Dutta), protagonis utama, sosok gadis miskin yang tertindas, nrimo tapi tegar. Sedangkan Tapasya (Rashami Desai) si antagonis utama, egois, manja dan menghalalkan segala cara. Jenis karakter yang sudah dipakai sinetron Multivision Plus era 90-an.
Eksekusinya pun serba didramatisir (baca: lebay). Adegan Ichcha melabrak Tapasya soal menukar surat yang dikirimnya untuk Vansh, misalnya, memakan waktu hampir setengah jam. Bagaimana tak, setiap seorang karakter habis mengucapkan dialog, kamera menyorot pemilik dialog, kemudian zoom-in ke wajah lawan bicaranya dengan dampak seperti kilat. Kadang dilanjutkan dengan kamera berputar mengitari tubuh pemain. Lengkap dengan ilustrasi musik gedombrengan. Gaya editing yang ironisnya, telah jarang ditemukan pada sinetron Indonesia masa kini.
Di era 2000-an, saat banyak sinetron Indonesia disutradarai sutradara India, judul dengan gaya editing lebay ini bertebaran. Saya ingat betapa gemesnya menyaksikan sinetron Jangan Berhenti Mencintaiku (2004, Multivision Plus, SCTV) dan Bawang Merah Bawang Putih (2004, MD Entertainment, RCTI) yang menerapkan sistem ini. Meski terkesan lambat, melihat adegan zoom-in dan close-up wajah pemain diiringi scoring berisik bagi saya malah menimbulkan rasa geregetan, yang akhirnya membuat saya urung mengganti channel demi melihat apa klimaks adegan tersebut.
Pada era stripping, gaya ini mulai ditinggalkan. Ini karena di awal stripping sinetron kita cenderung mengadaptasi drama Korea atau Taiwan, yang packaging-nya jauh beda dengan India. Alur pelan, tak meledak-ledak dan menonjolkan romantisme klasik.
Bisa jadi penonton TV kita merindukan serial drama yang kemasan serba ‘heboh’ ini. Jika ditengok tiga tahun ke belakang, sinetron Indonesia didominasi genre remaja (Diam Diam Suka, Anak Jalanan), laga-fantasi-romance (Ganteng Ganteng Serigala, 7 Manusia Harimau) atau komedi religi (Tukang Bubur Naik Haji, Emak Ijah Pengen ke Mekah). Boro-boro yang editingnya lebay, sinetron drama yang menyuguhkan konflik keluarga dan cinta seperti Cinta Fitri atau Putri yang Ditukar, jarang ditemui selama tiga tahun terakhir. Penonton (baca: ibu-ibu rumah tangga) yang kangen dengan sinetron drama yang mengaduk-aduk emosi, melepas kerinduan lewat serial India Uttaran.
Di India, Uttaran tergolong sukses, terbukti dengan bertahan tayang selama enam tahun. Di Indonesia, kesuksesan Uttaran dipengaruhi kejelian ANTV memilih jam tayang. Kalau tayang di primetime belum tentu Uttaran segemilang sekarang. Selama tiga tahun terakhir, sinetron yang ditujukan untuk remaja-lah yang ratingnya tinggi di jam primetime. Elif (SCTV) yang sukses saat tayang siang hari, ngos-ngosan ketika dipindah primetime.
Penayangan tiga jam setiap harinya, juga semakin mengikat emosi pemirsa TV Indonesia yang terbiasa menonton acara TV berdurasi panjang. Di India, Uttaran tayang hanya 30 menit (durasi termasuk iklan), dan hanya hari Senin-Jumat. Dengan durasi ANTV sekarang, pemirsa dijembrengin langsung enam episode dalam sehari. Artinya tayangan yang dipirsa penonton India dari Senin sampai Senin lagi, habis dilahap pemirsa TV Indonesia dalam satu hari penayangan.
Kesuksesan Uttaran sejauh ini belum ada tanda-tanda ditiru produser sinetron Indonesia. Coba deh, bikin sinetron yang penyuntingannya memakai gaya Uttaran: zoom in, dengan scoring gedombrengan. Ketimbang terus membuat sinetron yang memakai resep Anak Jalanan: remaja dan kebut-kebutan, yang gagal mencuri perhatian. (tb/ray)
Eksekusinya pun serba didramatisir (baca: lebay). Adegan Ichcha melabrak Tapasya soal menukar surat yang dikirimnya untuk Vansh, misalnya, memakan waktu hampir setengah jam. Bagaimana tak, setiap seorang karakter habis mengucapkan dialog, kamera menyorot pemilik dialog, kemudian zoom-in ke wajah lawan bicaranya dengan dampak seperti kilat. Kadang dilanjutkan dengan kamera berputar mengitari tubuh pemain. Lengkap dengan ilustrasi musik gedombrengan. Gaya editing yang ironisnya, telah jarang ditemukan pada sinetron Indonesia masa kini.
Di era 2000-an, saat banyak sinetron Indonesia disutradarai sutradara India, judul dengan gaya editing lebay ini bertebaran. Saya ingat betapa gemesnya menyaksikan sinetron Jangan Berhenti Mencintaiku (2004, Multivision Plus, SCTV) dan Bawang Merah Bawang Putih (2004, MD Entertainment, RCTI) yang menerapkan sistem ini. Meski terkesan lambat, melihat adegan zoom-in dan close-up wajah pemain diiringi scoring berisik bagi saya malah menimbulkan rasa geregetan, yang akhirnya membuat saya urung mengganti channel demi melihat apa klimaks adegan tersebut.
Pada era stripping, gaya ini mulai ditinggalkan. Ini karena di awal stripping sinetron kita cenderung mengadaptasi drama Korea atau Taiwan, yang packaging-nya jauh beda dengan India. Alur pelan, tak meledak-ledak dan menonjolkan romantisme klasik.
Bisa jadi penonton TV kita merindukan serial drama yang kemasan serba ‘heboh’ ini. Jika ditengok tiga tahun ke belakang, sinetron Indonesia didominasi genre remaja (Diam Diam Suka, Anak Jalanan), laga-fantasi-romance (Ganteng Ganteng Serigala, 7 Manusia Harimau) atau komedi religi (Tukang Bubur Naik Haji, Emak Ijah Pengen ke Mekah). Boro-boro yang editingnya lebay, sinetron drama yang menyuguhkan konflik keluarga dan cinta seperti Cinta Fitri atau Putri yang Ditukar, jarang ditemui selama tiga tahun terakhir. Penonton (baca: ibu-ibu rumah tangga) yang kangen dengan sinetron drama yang mengaduk-aduk emosi, melepas kerinduan lewat serial India Uttaran.
Di India, Uttaran tergolong sukses, terbukti dengan bertahan tayang selama enam tahun. Di Indonesia, kesuksesan Uttaran dipengaruhi kejelian ANTV memilih jam tayang. Kalau tayang di primetime belum tentu Uttaran segemilang sekarang. Selama tiga tahun terakhir, sinetron yang ditujukan untuk remaja-lah yang ratingnya tinggi di jam primetime. Elif (SCTV) yang sukses saat tayang siang hari, ngos-ngosan ketika dipindah primetime.
Penayangan tiga jam setiap harinya, juga semakin mengikat emosi pemirsa TV Indonesia yang terbiasa menonton acara TV berdurasi panjang. Di India, Uttaran tayang hanya 30 menit (durasi termasuk iklan), dan hanya hari Senin-Jumat. Dengan durasi ANTV sekarang, pemirsa dijembrengin langsung enam episode dalam sehari. Artinya tayangan yang dipirsa penonton India dari Senin sampai Senin lagi, habis dilahap pemirsa TV Indonesia dalam satu hari penayangan.
Kesuksesan Uttaran sejauh ini belum ada tanda-tanda ditiru produser sinetron Indonesia. Coba deh, bikin sinetron yang penyuntingannya memakai gaya Uttaran: zoom in, dengan scoring gedombrengan. Ketimbang terus membuat sinetron yang memakai resep Anak Jalanan: remaja dan kebut-kebutan, yang gagal mencuri perhatian. (tb/ray)